Sabtu, 28 November 2015

Caba iii

Huuu hah huuh hah....
Seraya mengibar tangan do depan bibir
Mata merah nampak rona  nanar sambat do muka
Bibir tak mampu lagi membisu
Lidah tak mampu menghela lagi
Dia sudah kalah
Skak mat
Mama diteguknya segelas air putih

Cong Ngkak

Bunga serumpai telah mekar do ujung timur
Ayam jantan merdu menyanyi menembang bisu
Riuh kampung back ramainya tanah perkuburan
Serial insan berlalu lalang dengan congkaknya
Sadarkah dia kalau kita bertempat di dusun
Menyanjung salam ialah wajib

Berkah Tanah Basah

Dan lagi langit terengah-engah
Meringkuk gundah diterjang lelah
Lelehan bening terjatuh sudah
Menimpa tanahku yang selagi lemah
Bagi yang beriman itulah berkah
Bagi yang dzalim itulah kalah

Segar

Ah...

Malas Gerak

Tinggal selangkah lagi tengah sampai
Tiada yang melihat apalagi melirik
Masih hujan
Iqomah belum dikumandangkan

Hujan

Tiada rona kiranya yang tahu
Tiada telinga kiranya yang mampu
Tiada mata kiranya yang menatap
Kapan kau datang kapan kau pergi

Tanah terlanjur basah
Toh akhirnya tahu menahu
Kami kedatangan tamu berjuta
Merajam bumi yang tengah kelu

Jumat, 13 Februari 2015

Pria Dibalik 98

Pria itu duduk di sudut ruangan
Namun, pandangannya kabur ke masa lalu
Jiwanya tiada pernah padam akan kobaran api keadilan
Matanya, seolah bercermin pada keadilan sesaat
Garis pada wajahnya menggambarkan betapa bangganya ia akan aksi heroiknya
Dia, pria dibalik 98
Wajahnya pucat pasi
Dia muak akan permainan demokrasi
Dia muak  akan  gundah negerinya
Sekali lagi,
Dia masih berharap